Jakarta – Pertanyaan klasik Tan Malaka kembali relevan, “Jika rakyat miskin tapi negara kaya, di mana uangnya?” Pertanyaan ini bukan sekadar renungan filosofis, tapi sebuah tamparan yang mengguncang kesadaran bangsa.
Indonesia disebut kaya raya memiliki tambang emas terbesar, hutan tropis luas, laut penuh ikan, dan tanah subur yang bisa menyejahterakan jutaan rakyat. Namun ironi yang terpampang jelas, negeri ini kaya, tapi rakyatnya melarat. Kekayaan hanya indah di atas kertas, sementara realitas di jalanan penuh rakyat kecil yang tercekik harga beras, pendidikan mahal, dan layanan kesehatan yang amburadul.
Jawabannya kini sudah bukan rahasia umum uang negara dirampok oleh pejabat korup!
Korupsi di negeri ini bukan sekadar kasus individu, tapi sudah menjelma menjadi budaya. Dari tingkat desa hingga kementerian, dari proyek kecil hingga mega proyek, selalu ada permainan kotor. Anggaran pendidikan bocor, dana kesehatan disunat, proyek infrastruktur dipermainkan hingga pengadaan Al Qur’an pun tak terhelatkan.
Uang yang seharusnya membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik justru berakhir di rekening pribadi segelintir oknum. Negeri pun kehilangan triliunan rupiah, sementara rakyat hanya bisa gigit jari merasa semua ini adalah dongeng.
Ironi semakin menyesakkan dada ketika rakyat disuguhi tontonan pejabat yang pesta pora di tengah derita rakyat. Ada yang berjoget ria di panggung acara sampai di paripurna.ada yang pamer barang mewah di media sosial, ada pula yang sibuk pencitraan seolah-olah peduli, padahal rakyat tak lagi mampu membeli kebutuhan pokok.
Kontroversi demi kontroversi terus bergulir, skandal gratifikasi, manipulasi proyek, hingga gaya hidup hedon pejabat dan keluarganya. Semua itu menambah luka dalam kepercayaan publik, membuat rakyat semakin muak.
Lantas, Kenapa Rakyat Diam Saja?
Pertanyaan yang lebih menyakitkan dari semua ironi ini adalah kenapa rakyat masih diam saja?
Apakah rakyat sudah terbiasa ditindas? Apakah suara mereka dianggap tak akan pernah mengubah apa-apa? Atau memang kepercayaan sudah hancur begitu dalam hingga tidak ada lagi harapan pada negeri yang katanya merdeka ini?
Padahal, diamnya rakyat justru menjadi oksigen bagi para koruptor untuk terus bernafas. Diamnya rakyat membuat pesta korupsi terus berlangsung. Diamnya rakyat membuat kekuasaan semakin jauh dari makna pengabdian.
Banyak tokoh masyarakat menilai wajah pemerintahan hari ini seolah terbagi dua, satu sisi bicara soal “reformasi dan pelayanan publik”, tapi sisi lainnya justru mempertontonkan pesta kekuasaan. Akibatnya, rakyat semakin apatis, politik dipandang hanya permainan kotor, dan demokrasi kehilangan roh.
Sementara itu, jurang ketimpangan kian lebar, segelintir pejabat dan oligarki menikmati kekayaan melimpah, sedangkan mayoritas rakyat berjuang hanya untuk bertahan hidup.
Pada akhirnya, kontroversi dari korupsi hingga kelakuan pejabat bukan sekadar soal individu yang serakah. Ini adalah cermin rusaknya sistem, lemahnya pengawasan, dan hilangnya rasa malu di kursi kekuasaan.
Negeri ini sesungguhnya tidak miskin. Yang miskin hanyalah rakyat yang tak kebagian bagian dari kekayaan negaranya. Dan selama rakyat tetap diam, sejarah kelam ini akan terus berulang.
Seperti kata Tan Malaka: “Kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajah asing, tapi juga dari penindasan elit dalam negeri sendiri.”
Penulis: Reendy Hafiz.R